PERMEN 19 2012 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN  MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 19 TAHUN 2012
TENTANG
SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN
KEPADA PERUSAHAAN LAIN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang  :  a.  bahwa pelaksanaan pemborongan pekerjaan dan
penyediaan jasa pekerja/buruh  diarahkan  untuk
menciptakan iklim hubungan industrial yang harmonis,
dinamis dan berkeadilan;
b.  bahwa ketentuan yang diatur dalam  Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi  Nomor
KEP.101/MEN/VI/2004  tentang  Tata Cara Perijinan
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh  dan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP.220/MEN/X/2004 tentang    Syarat-Syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain,  sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan saat ini,  sehingga perlu dilakukan
penyempurnaan;
c.  bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud  pada  huruf a  dan b,  perlu ditetapkan
Peraturan Menteri tentang Syarat-Syarat Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
Lain;
Mengingat  :  1.  Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang
Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan
Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik
Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);
2.  Undang-Undang  Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan  Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279); 
2
3.  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesi a Nomor 4356);
4.  Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan   :  PERATURAN  MENTERI TENAGA KERJA DAN
TRANSMIGRASI  TENTANG  SYARAT-SYARAT  PENYERAHAN
SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN  KEPADA
PERUSAHAAN LAIN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1.  Perusahaan pemberi pekerjaan adalah perusahaan  yang  menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan penerima
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
2.  Perusahaan penerima pemborongan adalah perusahaan yang berbentuk
badan hukum yang memenuhi syarat  untuk  menerima pelaksanaan
sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan.
3.  Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh  adalah perusahaan yang
berbentuk  badan hukum Perseroan Terbatas (PT)  yang  memenuhi syarat
untuk melaksanakan  kegiatan jasa penunjang  perusahaan pemberi
pekerjaan.
4.  Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah perjanjian antara perusahaan
pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pemborongan  yang
memuat hak dan kewajiban para pihak.
5.  Perjanjian  penyediaan jasa pekerja/buruh  adalah perjanjian antara
perusahaan  pemberi pekerjaan  dengan  perusahaan  penyedia jasa
pekerja/buruh yang memuat hak dan kewajiban para pihak.
6.  Pekerja/buruh  adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan
penerima pemborongan   atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7.  Perjanjian kerja adalah perjanjian antara perusahaan penerima
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan
pekerja/buruh di  perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang memuat hak dan kewajiban masing -masing pihak.
8.  Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.

Pasal 2
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan  lain dapat
dilakukan melalui  perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian
penyediaan jasa pekerja/buruh.

BAB II
PEMBORONGAN PEKERJAAN
Bagian Kesatu
Persyaratan Pemborongan Pekerjaan

Pasal 3
(1)   Perusahaan  pemberi pekerjaan dapat  menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan  penerima pemborongan.
(2)   Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan  penerima
pemborongan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a.  dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama  baik  manajemen
maupun  kegiatan pelaksanaan pekerjaan;
b.  dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan,  dimaksudkan untuk memberi penjelasan  tentang cara
melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar  yang ditetapkan
oleh perusahaan pemberi pekerjaan;
c.  merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan,
artinya  kegiatan  tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan
memperlancar pelaksanaan  kegiatan utama  sesuai dengan alur
kegiatan  proses pelaksanaan pekerjaan  yang ditetapkan  oleh asosiasi
sektor  usaha  yang dibentuk  sesuai  peraturan perundang-undangan;
dan
d.  tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya  kegiatan
tersebut merupakan  kegiatan  tambahan yang apabila tidak dilakukan
oleh  perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan
tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Pasal 4
(1)   Asosiasi sektor usaha  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf c  harus membuat alur kegiatan  proses pelaksanaan pekerjaan
sesuai sektor usaha masing-masing.
(2)   Alur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggambarkan proses
pelaksanaan pekerjaan dari awal sampai akhir  serta  memuat kegiatan
utama dan kegiatan penunjang  dengan memperhatikan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
(3)   Alur sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2)  dipergunakan sebagai dasar
bagi perusahaan pemberi pekerjaan  dalam penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan melalui pemborongan pekerjaan.
4
Pasal 5
Jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan kepada perus ahaan
penerima pemborongan harus dilaporkan  oleh  perusahaan pemberi pekerjaan
kepada  instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan .
Pasal 6
Instansi yang bertanggung jawab di bidang ket enagakerjaan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal  5  mengeluarkan bukti pelaporan  jenis
pekerjaan penunjang yang akan diserahkan melalui  pemborongan pekerjaan
paling lambat 1 (satu) minggu sejak pelaporan dilaksanakan oleh perusahaan
pemberi pekerjaan.
Pasal 7
(1)   Perusahaan pemberi pekerjaan dilarang menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan
apabila belum memiliki  bukti pelaporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6.
(2)   Apabila perusahaan pemberi pekerjaan menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan  penerima pemborongan
sebelum memiliki  bukti pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal  6,
maka  hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan
penerima pemborongan beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan.
Pasal 8
Perusahaan pemberi pekerjaan harus melaporkan secara tertulis setiap
perubahan  jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan melalui
pemborongan pekerjaan,  kepada  instansi yang bertanggung jawab di   bidang
ketenagakerjaan  kabupaten/kota  tempat pemborongan pekerjaan
dilaksanakan  dengan tetap memperhatikan proses sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5.
Bagian Kedua
Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
Pasal 9
(1)   Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan secara tertulis.
(2)   Perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya harus memuat:
a.  hak dan kewajiban masing-masing pihak;
b.  menjamin terpenuhinya  perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja
bagi pekerja/buruh sesuai peraturan perundang-undangan; dan
c.  memiliki tenaga kerja yang mempunyai kompetensi  di bidangnya.
5
Pasal 10
(1)   Perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal  9
harus didaftarkan oleh perusahaan penerima pemborongan   kepada
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan.
(2)   Pendaftaran perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan setelah   perjanjian tersebut ditandatangani oleh
perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima
pemborongan, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja  sebelum pekerjaan
dilaksanakan.
Pasal 11
Dalam hal perjanjian pemborongan pekerjaan telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal  9  dan Pasal  10, maka instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat
pekerjaan dilaksanakan menerbitkan bukti pendaftaran paling lambat   5 (lima)
hari kerja sejak berkas permohonan pendaftaran perjanjian diterima.
Bagian Ketiga
Persyaratan Perusahaan Penerima Pemborongan
Pasal 12
Perusahaan penerima pemborongan harus memenuhi persyaratan:
a.  berbentuk badan hukum;
b.  memiliki tanda daftar perusahaan;
c.  memiliki izin usaha; dan
d.  memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan.
Bagian Keempat
Perjanjian Kerja Pemborongan  Pekerjaan
Pasal 13
Setiap perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan wajib memuat
ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam
hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
Perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan mengatur tentang hubungan
kerja antara perusahaan penerima pemborongan dengan pekerja/buruhnya
yang dibuat secara tertulis.
Pasal 15
Hubungan kerja  antara perusahaan penerima pemborongan dengan
pekerja/buruhnya  sebagaimana dimaksud  dalam Pasal  14  dapat didasarkan
atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
6
Pasal 16
Pelaporan jenis kegiatan sebagaimana  dimaksud dalam Pasal  5  dan
pendaftaran perjanjian pemborongan pekerjaan  sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 tidak dikenakan biaya.
BAB III
PENYEDIAAN JASA PEKERJA/BURUH
Bagian Kesatu
Persyaratan Penyediaan Jasa  Pekerja/Buruh
Pasal 17
(1)  Perusahaan pemberi pekerjaan  dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan  penyedia jasa pekerja/buruh  melalui
perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
(2)   Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan  penyedia jasa
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  harus merupakan
kegiatan jasa penunjang atau yang tidak berhubungan  langsung dengan
proses produksi.
(3)   Kegiatan jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a.  usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
b.  usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering);
c.  usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
d.  usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
e.  usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.
Pasal 18
Perusahaan penyedia  jasa pekerja/buruh dilarang menyerahkan pelaksanaan
sebagian atau seluruh pekerjaan yang diperjanjikan kepada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh lain.
Bagian Kedua
Perjanjian Penyediaan Jasa  Pekerja/Buruh
Pasal 19
Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh  sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.  jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh   dari perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
b.  penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia
menerima  pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
sebelumnya  untuk jenis  pekerjaan yang  terus menerus  ada di perusahaan
pemberi  pekerjaan  dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh; dan
7
c.  hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya berdasarkan perjanjian kerja waktu
tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
Pasal 20
(1)   Perjanjian  penyediaan jasa pekerja/buruh  antara  perusahaan  pemberi
pekerjaan  dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh  harus
didaftarkan  kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.
(2)   Pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak ditandatangani  dengan melampirkan:
a.  izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang masih
berlaku; dan
b.  draft perjanjian  kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(3)   Pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan biaya.
Pasal 21
(1)   Dalam hal perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal  19  dan Pasal  20, maka
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan menerbitkan bukti
pendaftaran paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak berkas permohonan
pendaftaran perjanjian diterima.
(2)   Dalam hal perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana pada ayat (1), maka pejabat yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dapat menolak
permohonan pendaftaran dengan memberi alasan penolakan.
Pasal 22
Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak dapat melakukan operasional
pekerjaannya sebelum mendapatkan bukti pendaftaran perjanjian penyediaan
jasa pekerja/buruh dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.
Pasal 23
(1)   Dalam hal perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh tidak didaftarkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20  dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh tetap melaksanakan pekerjaan, maka instansi yang
bertanggung jawab  di bidang ketenagakerjaan provinsi mencabut izin
operasional berdasarkan  rekomendasi dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(2)   Dalam hal izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
dicabut, pemenuhan hak-hak pekerja/buruh tetap menjadi tanggung
jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan.   
8
Bagian Ketiga
Persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
Pasal 24
Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus memenuhi persyaratan:
a.  berbentuk badan hukum  Perseroan Terbatas (PT)  yang didirikan
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
b.  memiliki tanda daftar perusahaan;
c.  memiliki izin usaha;
d.  memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan;
e.  memiliki izin operasional;
f.  mempunyai kantor dan alamat tetap; dan
g.  memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan.
Pasal 25
(1)   Izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal  24  huruf e  diajukan
permohonannya oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh  kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan  provinsi
tempat pelaksanaan pekerjaan, dengan melampirkan:
a.  copy anggaran dasar yang didalamnya memuat kegiatan usaha
penyediaan jasa pekerja/buruh;
b.  copy pengesahan sebagai badan hukum Perseroan Terbatas (PT);
c.  copy surat ijin usaha penyediaan jasa pekerja/buruh;
d.  copy tanda daftar perusahaan;
e.  copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan;
f.  copy  pernyataan  kepemilikan kantor  atau bukti penyewaan kantor
yang ditandatangani oleh pimpinan perusahaan; dan
g.  copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan .
(2)   Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan   provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menerbitkan izin operasional
terhadap permohonan yang telah memenuhi persyaratan dalam waktu
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima.
(3)   Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku di seluruh
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.
Pasal 26
(1)   Izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal  25  berlaku untuk
jangka waktu  3  (tiga)  tahun dan dapat  diperpanjang  untuk jangka waktu
yang sama.
(2)   Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan
berdasarkan  persyaratan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini dan
hasil evaluasi kinerja perusahaan yang dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
9
(3)   Berdasarkan hasil evaluasi kinerja perusahaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
provinsi menyetujui atau men olak.
Bagian Keempat
Perjanjian Kerja Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh
Pasal 27
(1)   Setiap  perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh wajib membuat
perjanjian kerja secara tertulis dengan pekerja/buruh.
(2)   Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus  dicatatkan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.
(3)   Dalam hal perjanjian kerja tidak dicatatkan  sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), maka  instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi mencabut izin operasional berdasarkan
rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(4)   Pencatatan  perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
dikenakan biaya.
Pasal 28
Setiap  perjanjian kerja penyediaan jasa pekerja/buruh wajib memuat
ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam
hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
(1)   Hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan
pekerja/buruhnya  sebagaimana dimaksud dalam Pasal   28  dapat
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian
kerja waktu tertentu.
(2)   Dalam hal hubungan kerja didasarkan atas perjanjian kerja  waktu
tertentu  yang objek  kerjanya tetap ada  sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), sekurang-kurangnya harus memuat:
a.  jaminan kelangsungan bekerja;
b.  jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan yang diperjanjikan; dan
c.  jaminan  perhitungan  masa kerja  apabila terjadi pergantian
perusahaan penyedia jasa  pekerja/buruh untuk menetapkan upah.
(3)   Hak-hak pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
meliputi:
a.  hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa kerja;
b.  hak atas jaminan sosial;
c.  hak atas tunjangan hari raya;
10
d.  hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu;
e.  hak  menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh  sebelum perjanjian kerja
waktu tertentu berakhir bukan karena kesalahan pekerja;
f.  hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari akumulasi masa
kerja yang telah dilalui; dan
g.  hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
dan/atau perjanjian kerja sebelumnya.
Pasal 30
Dalam  hal perjanjian kerja waktu tertentu tidak memuat ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal  28  dan Pasal 29, maka  hubungan kerja
antara perusahaan penyedia    jasa pekerja/buruh    dengan pekerja/buruh
berubah menjadi hubungan kerja yang didasarkan atas  perjanjian kerja waktu
tidak tertentu  sejak ditandatanganinya perjanjian kerja yang tidak memenuhi
persyaratan.
Pasal 31
Dalam hal  pekerja/buruh tidak memperoleh jaminan kelangsungan bekerja,
maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan kepada  Pengadilan
Hubungan Industrial.
Pasal 32
(1)   Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak melanjutkan perjanjian
penyediaan jasa pekerja/buruh dan mengalihkan pekerjaan penyediaan
jasa pekerja/buruh kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
yang baru, maka perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh  yang baru,
harus melanjutkan perjanjian kerja yang telah ada sebelumnya tanpa
mengurangi  ketentuan yang ada  dalam perjanjian kerja yang telah
disepakati.
(2)   Dalam hal terjadi pengalihan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh  yang baru  sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
masa kerja yang telah dilalui para pekerja/buruh pada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang lama harus tetap dianggap ada dan
diperhitungkan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh  yang baru.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 33
Pengawasan  pelaksanaan  peraturan  ini  dilakukan oleh  Pengawas
Ketenagakerjaan.
11
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
(1)   Setiap perusahaan  pemberi pekerjaan,  perusahaan  penerima
pemborongan  atau perusahaan penyedia  jasa pekerja/buruh wajib
menyesuaikan  dengan  ketentuan dalam  Peraturan Menteri ini paling
lama 12 (dua belas) bulan sejak diundangkannya Peraturan Menteri ini.
(2)   Dalam hal perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak menyesuaikan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perusahaan
penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh tetap bertanggung jawab terhadap hak-hak
pekerja/buruh sesuai perjanjian kerja.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Pada saat  Peraturan Menteri ini  mulai berlaku, Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara
Perijinan Penyediaan Jasa Pekerja/buruh dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain,  dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 36
Peraturan Menteri ini mulai berlaku  pada tanggal di undangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 November 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2012

MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 1138

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERATURAN KETENAGAKERJAAN

PERATURAN KETENAGAKERJAAN