Yth. redaksi hukumonline.com semenjak adanya jamsostek di perusahaan
kami bekerja, hampir setiap hari ada yang tidak masuk dengan alasan
sakit dan menunjukan surat dari jamsostek. Yang ingin saya tanyakan
tindakan hukum seperti apa yang sebaiknya diambil perusahaan untuk
menanggulangi keadaan tersebut, karena kami tahu karyawan yang tidak
masuk tersebut pura-pura sakit dan pihak jamsostek dengan mudah
memberikan surat sakit. Karena secara logika saja orang sakit pasti
memerlukan waktu lebih dari 1 hari, dan tidak ada tanda-tanda baru
sembuh dari sakit. Terimakasih.
Jawaban:
Yth. Saudara penanya. Setelah membaca permasalahan Saudara, saya kurang dapat menangkap dan memahami persis, seperti apa maksud statement Saudara bahwa: ada (karyawan) yang tidak masuk (bekerja) dengan alasan sakit dan menunjukkan surat dari Jamsostek. Asumsi saya, mungkin maksudnya Saudara: surat keterangan sakit dari (para) dokter atau klinik/rumah sakit mitra PT. Jamsostek (Persero).
Sepengetahuan saya, Jamsostek tidak mempunyai kewenangan untuk menerbitkan surat keterangan sakit
terkait dengan sakitnya pekerja/buruh (karyawan), walau peserta
jamsostek sekalipun. Yang berwenang untuk menerbitkan surat keterangan
sakit dimaksud, adalah dokter atau klinik/rumah sakit, khususnya yang ditunjuk oleh atau kerjasama dengan PT. Jamsostek (Persero). Jadi, dalam hal dan kaitan ini, mungkin yang Saudara maksud adalah surat keterangan sakit dari dokter yang ditunjuk oleh atau kerjasama dengan PT. Jamsostek sebagai rujukan layanan kesehatan (para) karyawan.
Berkenaan
dengan surat keterangan sakit tersebut, terlebih dahulu saya ingin
menjelaskan, bahwa lembaga dan jabatan kedokteran sebenarnya adalah
suatu profesi yang mulia dan seharusnya terpercaya, sehingga wajib untuk
dipercaya statementnya dalam memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional (vide Pasal 51 huruf a Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran).
Jabatan kedokteran tersebut sama terpercayanya dengan misalnya jabatan Notaris, Akuntan, atau (putusan)
Hakim, dan jabatan-jabatan profesi lainnya yang sejenis. Artinya apapun
kata dokter: sakit, sehat, istirahat, atau harus dirawat, ataukah sudah
dapat pulang (sembuh), semuanya wajib dipercaya oleh pihak yang
berkepentingan.
Dengan
demikian kalau ada karyawan yang menyatakan sakit dan memang ada surat
keterangan sakit dari dokter yang berwenang dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya (dalam arti, benar-benar diterbitkan
oleh seorang dokter yang berwenang dan sesuai profesi), maka surat
keterangan dokter tersebut wajib untuk dapat dipercaya kebenaran
pernyataannya. Tegasnya, jika dalam surat tersebut dinyatakan bahwa
pasien (karyawan) yang bersangkutan dinyatakan sakit, maka perusahaan wajib mempercayainya.
Permasalahannya, bagaimana jika ada keraguan terhadap surat keterangan dokter dimaksud, seperti kecurigaan Saudara, mungkin hanya berpura-pura sakit, hemat saya tentunya bukan si pasien (karyawan)
yang harus disalahkan dan dikenakan sanksi, akan tetapi dokter yang
menerbitkan pernyataan itulah yang harus ditelusur, apakah ia berbohong
atau mengeluarkan pernyataan palsu.
Walaupun
tidak tertutup kemungkinan (para) karyawanlah yang menyalahgunakan
melakukan pemalsuan surat keterangan dokter (alias “aspal”). Hal ini
bisa dikenakan sanksi pidana pemalsuan (sesuai Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Wetboek van Straftecht – “KUHP”), dan/atau juga sanksi keperdataan, no work no pay (sesuai Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Mengenai no work no pay, dapat dilihat dalam artikel yang berjudul Surat Dokter dan Prinsip 'No Work No Pay'.
Akan
tetapi, jika memang dapat dibuktikan atau setidaknya patut dapat diduga
bahwa seorang dokter mengeluarkan pernyataan yang tidak benar dan/atau
menyimpang dari kode etik kedokteran, maka oknum dokter yang
bersangkutan itu harus dilaporkan kepada pihak yang berwajib dan bisa
dikenakan sanksi (punishment) sesuai ketentuan. Bahkan sanksinya
bukan hanya pelanggaran kode etik profesi atau sanksi keperdataan, akan
tetapi kemungkinan dapat dikenakan sanksi pidana penjara (vide Pasal 242 ayat (1) KUHP).
Demikian jawaban dan penjelasan saya, semoga dapat dimaklumi.
Dasar Hukum:
sumber: http://www.hukumonline.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar