Sanksi Jika Menyalahgunakan Surat Keterangan Dokter

Yth. redaksi hukumonline.com semenjak adanya jamsostek di perusahaan kami bekerja, hampir setiap hari ada yang tidak masuk dengan alasan sakit dan menunjukan surat dari jamsostek. Yang ingin saya tanyakan tindakan hukum seperti apa yang sebaiknya diambil perusahaan untuk menanggulangi keadaan tersebut, karena kami tahu karyawan yang tidak masuk tersebut pura-pura sakit dan pihak jamsostek dengan mudah memberikan surat sakit. Karena secara logika saja orang sakit pasti memerlukan waktu lebih dari 1 hari, dan tidak ada tanda-tanda baru sembuh dari sakit. Terimakasih.  
acep suhendi
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b78d72b89322/lt4fa7a7b94c129.jpg
Yth. Saudara penanya. Setelah membaca permasalahan Saudara, saya kurang dapat menangkap dan memahami persis, seperti apa maksud statement Saudara bahwa: ada (karyawan) yang tidak masuk (bekerja) dengan alasan sakit dan menunjukkan surat dari Jamsostek. Asumsi saya, mungkin maksudnya Saudara: surat keterangan sakit dari (para) dokter atau klinik/rumah sakit mitra PT. Jamsostek (Persero).
 
Sepengetahuan saya, Jamsostek tidak mempunyai kewenangan untuk menerbitkan surat keterangan sakit terkait dengan sakitnya pekerja/buruh (karyawan), walau peserta jamsostek sekalipun. Yang berwenang untuk menerbitkan surat keterangan sakit dimaksud, adalah dokter atau klinik/rumah sakit, khususnya yang ditunjuk oleh atau kerjasama dengan PT. Jamsostek (Persero). Jadi, dalam hal dan kaitan ini, mungkin yang Saudara maksud adalah surat keterangan sakit dari dokter yang ditunjuk oleh atau kerjasama dengan PT. Jamsostek sebagai rujukan layanan kesehatan (para) karyawan.
 
Berkenaan dengan surat keterangan sakit tersebut, terlebih dahulu saya ingin menjelaskan, bahwa lembaga dan jabatan kedokteran sebenarnya adalah suatu profesi yang mulia dan seharusnya terpercaya, sehingga wajib untuk dipercaya statementnya dalam memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional (vide Pasal 51 huruf a Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran).
 
Jabatan kedokteran tersebut sama terpercayanya dengan misalnya jabatan Notaris, Akuntan, atau (putusan) Hakim, dan jabatan-jabatan profesi lainnya yang sejenis. Artinya apapun kata dokter: sakit, sehat, istirahat, atau harus dirawat, ataukah sudah dapat pulang (sembuh), semuanya wajib dipercaya oleh pihak yang berkepentingan.
 
Dengan demikian kalau ada karyawan yang menyatakan sakit dan memang ada surat keterangan sakit dari dokter yang berwenang dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (dalam arti, benar-benar diterbitkan oleh seorang dokter yang berwenang dan sesuai profesi), maka surat keterangan dokter tersebut wajib untuk dapat dipercaya kebenaran pernyataannya. Tegasnya, jika dalam surat tersebut dinyatakan bahwa pasien (karyawan) yang bersangkutan dinyatakan sakit, maka perusahaan wajib mempercayainya.
 
Permasalahannya, bagaimana jika ada keraguan terhadap surat keterangan dokter dimaksud, seperti kecurigaan Saudara, mungkin hanya berpura-pura sakit, hemat saya tentunya bukan si pasien (karyawan) yang harus disalahkan dan dikenakan sanksi, akan tetapi dokter yang menerbitkan pernyataan itulah yang harus ditelusur, apakah ia berbohong atau mengeluarkan pernyataan palsu.
 
Walaupun tidak tertutup kemungkinan (para) karyawanlah yang menyalahgunakan melakukan pemalsuan surat keterangan dokter (alias “aspal”). Hal ini bisa dikenakan sanksi pidana pemalsuan (sesuai Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Wetboek van Straftecht – “KUHP”), dan/atau juga sanksi keperdataan, no work no pay (sesuai Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Mengenai no work no pay, dapat dilihat dalam artikel yang berjudul Surat Dokter dan Prinsip 'No Work No Pay'.
 
Akan tetapi, jika memang dapat dibuktikan atau setidaknya patut dapat diduga bahwa seorang dokter mengeluarkan pernyataan yang tidak benar dan/atau menyimpang dari kode etik kedokteran, maka oknum dokter yang bersangkutan itu harus dilaporkan kepada pihak yang berwajib dan bisa dikenakan sanksi (punishment) sesuai ketentuan. Bahkan sanksinya bukan hanya pelanggaran kode etik profesi atau sanksi keperdataan, akan tetapi kemungkinan dapat dikenakan sanksi pidana penjara (vide Pasal 242 ayat (1) KUHP).
 
Demikian jawaban dan penjelasan saya, semoga dapat dimaklumi.
 
Dasar Hukum:

 sumber: http://www.hukumonline.com/
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERATURAN KETENAGAKERJAAN

PERATURAN KETENAGAKERJAAN